|
| Suporter: Unsur Penting Yang Diabaikan PSSI | |
| | Pengirim | Message |
---|
Tamu Tamu
| Subyek: Suporter: Unsur Penting Yang Diabaikan PSSI Sat Sep 20, 2008 4:51 pm | |
| Ditulis oleh Luhur Satya Pambudi
Djarum Indonesia Super League atau Liga Super Indonesia (LSI) telah berputar sejak pertengahan Juli 2008, kendati dengan sejumlah ketidaksiapan dan banyak kekurangannya di sana sini. Sebelum LSI resmi dimulai, Badan Liga Indonesia (BLI) telah melakukan proses verifikasi untuk menentukan yang layak tampil dan terpilihlah 18 tim peserta. Ada beberapa tim yang walaupun tidak memiliki stadion yang layak, tapi tetap memiliki lisensi sebagai peserta.
Menjadi aneh sekali ketika sebuah tim tampil di kandangnya, tapi tidak ada pendukungnya. Hal itu sudah terjadi pada PSMS yang bermain di Jakarta, Persita di Bandung, dan Persitara maupun Pelita Jaya di Soreang. Sebuah pertandingan sepakbola resmi tingkat nasional kok tanpa kemeriahan suporter, lucu bukan?
Pada sisi yang lain, suporter fanatik buta yang tak mau menerima kekalahan timnya dengan melakukan anarki pun tetap menjadi masalah klise -seolah- tanpa solusi. Bahkan kini ditambah pula ada suporter yang rasis. Apakah tidak ada pihak yang mampu membuat penonton sepakbola menjadi lebih dewasa dan memiliki kecerdasan emosional?
Melihat tingkah laku suporter yang brutal menyembulkan banyak pertanyaan. Apakah mereka orang-orang yang pernah mendapatkan pendidikan dari orang tua dan para guru? Apakah mereka orang-orang yang memiliki agama? Apakah mereka yakin bahwa hari esok sudah kiamat, karena ketika timnya kalah, seakan habislah sudah harapan, sehingga mending hancurkan saja apa yang ada di depan mata? Atau pertanyaan paling sederhana, apakah mereka tidak tahu jika tim kesayangan mereka pasti rugi jika terjadi kerusuhan? Pasti masih banyak pertanyaan yang menjadi ketidakpahaman kita dan entah pula jawabannya.
Sepertinya suporter merupakan sebuah unsur penting yang tidak menjadi perhatian PSSI. Dalam sejumlah persyaratan untuk calon peserta LSI yang berat-berat itu, BLI sama sekali tidak menyertakan masalah suporter. Padahal suporter adalah sesuatu yang sangat signifikan dalam kelangsungan hidup sebuah tim sepakbola. Jika pertandingan sepakbola tanpa penonton, untuk apa pertandingan mesti diadakan? Tapi jika penonton sering rusuh, siapa yang paling susah?
Idealnya setiap tim peserta LSI mampu memberikan jaminan bahwa suporternya tidak akan pernah anarkis. Hal itu menjadi salah satu syarat penting yang harus dipenuhi. Jika tak sanggup, tentunya harus ada hukuman yang berat dari Komisi Disiplin PSSI. Sepertinya saat ini sudah semakin banyak organisasi suporter di Indonesia. Bahkan ada pula yang telah menjalin silaturahmi. Jika ada hubungan yang baik antara klub dan kelompok suporter, antar organisasi suporter pun ada hubungan baik, mestinya kerusuhan suporter dapat dieliminasi. Yang juga penting, mestinya ada standar pengamanan pertandingan yang dilakukan secara koordinatif antara pihak klub, panitia pelaksana, koordinator suporter, dan aparat keamanan.
Konyolnya, di banyak stadion lebih banyak aparat keamanan yang malah ikut menonton pertandingan dan bukannya menjaga penonton supaya selalu tenang apa pun yang terjadi di atas lapangan. Masalah suporter sepakbola di Indonesia ternyata memang masalah yang begitu kompleks.
BAGAIMANA MENURUT UMAK??? |
| | | maldani PELATIH KEPALA
Jumlah posting : 1133 Join date : 12.07.08 Age : 37 Lokasi : AS_5_LANK
| | | | aremania samuraix PEMAIN AREMA STARTER
Jumlah posting : 686 Join date : 24.06.08
| Subyek: Re: Suporter: Unsur Penting Yang Diabaikan PSSI Sat Sep 20, 2008 9:31 pm | |
| Mayor Haristanto:
Suporter Kita Masih Primitif
KERUSUHAN dalam dunia sepak bola yang disebabkan oleh ulah suporter terus terjadi. Begitu banyak korban yang jatuh semakin menambah buruk citra persepakbolaan Indonesia. Bentrokan antarpendukung kedua kesebelasan yang berlaga semakin sulit dihindarkan. Padahal, berbagai usaha mengatasinya terus dilakukan. Mulai dari penambahan personel keamanan, penandatanganan kesepakatan damai, pembatasan kuota penonton hingga sanksi berat kepada tim. Apa yang sesungguhnya terjadi dengan suporter sepak bola Indonesia? Benarkah kedamaian dan kenyamanan di stadion hanya mimpi belaka? Tak adakah solusi ampuh mengatasinya? Berikut petikan perbincangan Suara Merdeka dengan pentolan suporter nasional, Mayor Haristanto. Mayor dikenal sebagai penggagas kelahiran kelompok suporter kreatif Solo, Pasoepati. Dia juga turut membidani kelahiran kelompok suporter The Macz Man (PSM Makassar), Asykar Teking (PSPS Pekanbaru), dan Persmanisti (Persma Manado). Bagaimana perkembangan terkini suporter sepak bola nasional? Sangat menggelisahkan. Bentrok antarsuporter masih terus terjadi, bahkan menjadi-jadi. Padahal yang bentrok itu ternyata sesama warga Jateng atau Jatim, atau derah lain. Bahkan juga terjadi antara mereka yang sama-sama tinggal dan hidup di kota yang sama. Jujur saja, saya melihat suporter kita masih sangat primitif. Mereka hanya ingin melihat timnya menang. Mereka tak memahami prinsip olahraga. Prinsip sepak bola, misalnya, ada tiga. Menang, seri, atau kalah. Bisa jadi ini juga efek domino kondisi krisis yang masih dialami Indonesia. Negara kita masih memikirkan perut, sehingga belum sempat mengurus yang lain. Memikirkan masalah suporter memang tugas bangsa. Namun, bukan berarti jadi pembenaran bahwa rusuh itu boleh. Kerusuhan itu justru harus dihilangkan. Sedikit demi sedikit. Mengapa suporter cenderung brutal? Suporter itu masyarakat grass-root, akar rumput. Mereka biasanya dari kelas mene-ngah ke bawah. Banyak pengangguran, pendidikannya juga tak terlalu tinggi dan sebagainya. Mungkin di rumah sudah sumpek. Mereka ingin mengekspresikan dirinya di stadion. Menunjukkan kalau eksistensi mereka itu ada. Bergesekan sedikit bisa menyalakan api. Bagaimana caranya supaya mereka tak destruktif, ya dengan nyanyi-nyanyi, menyuarakan yel-yel. Dengan menyanyikan lagu-lagu suporter itu, mereka lupa dengan masalah hidup. Energinya sudah habis dengan perilaku itu. Kalau suporter duduk manis, dia akan tegang, methentheng. Tapi kalau nyanyi-nyanyi, ekspresif, seakan-akan sepak bolanya sendiri adalah nomor dua. Jadi, yang terpenting saya datang ke sini, bisa mengespresikan kegundahan saya. Ya, selama seminggu sebelumnya dia spaneng, sakit, di stadionlah saatnya berekreasi. Bukankah yel-yel atau lagu itu bisa mengundang kerusuhan? Belum tentu. Yel-yel seperti apa dulu? Yel-yel itu juga untuk mengampanyekan diri suporter. Lagu juga bisa digunakan mengampanyekan kepada diri sendiri agar bertanggung jawab. Lagu yang provokatif, berisi celaan memang negatif. Saya ingin lagu-lagu suporter itu menyentuh. Apa solusi mengantisipasi kerusuhan? Solusinya dengan pendekatan hati. Harus sabar dan membutuhkan keikhlasan. Kita harus mengubah budaya atau karakter. Kampanye menjadi suporter yang santun itu harus dilakukan setiap hari. Memang, mengubah keburukan menjadi kebaikan itu bukan hal gampang. Perilaku santun dan tertib itu harus dibudayakan di setiap kesempatan. Tak hanya di dunia sepak bola. Perlukah kita memiliki kelompok suporter? Bagaimana dengan penonton biasa yang hanya datang ingin melihat sepak bola dan pulang seusai pertandingan? Bagi saya harus ada kelompok suporter. Suporter itu salah satu aspek yang dibutuhkan tim. Kalau bisa memanfaatkan, menjadi sumber pendapatan utama sebuah tim. Suporter itu apa pun diberikan, lho, penonton tidak. Penonton cuma beli tiket, suporter lebih dari itu. Siapakah suporter itu sesungguhnya? Saya selalu mengatakan, suporter itu manusia yang sangat irasional, orang yang tidak masuk akal. Diatur, biaya sendiri, berisiko seperti dibalangi, ya tetap mau. Kalau suporter jadi manusia rasional, gak jadi suporternya. Itulah fanatisme, ke luar kota dengan biaya sendiri. Napa adoh-adoh tekan Suroboyo, dibandhili. Berisiko tinggi. Namun dia mau kok. Kalau penonton cuma duduk manis, stadion seperti kuburan. Saya tak bisa membayangkan. Apa kaitan suporter dengan tim yang didukung? Di stadion, tontonannya bukan hanya sepak bola. Stadion itu sesungguhnya panggung konser, para pemain itu dirigen dan suporterlah yang menjadi artis. Mereka terus bernyanyi sepanjang permainan, melebihi Michael Jackson. Saat ini konflik suporter cenderung menjurus ke konflik antardaerah. Apa yang terjadi? Saya menyebutnya ego lokal. Mereka yang berkonflik belum menghayati, sesama warga Jateng, misalnya. Sama-sama orang Indonesia. Saya katakan tadi, suporter kita sangat primitif. Situasinya memang kompleks. Ada peran manajemen, pemain bahkan wasit. Tapi hal itu tak bisa dijadikan pembenaran untuk bertindak rusuh. Haruskah tim yang berada di satu provinsi seperti PSIS dan Persijap dipisahkan saja wilayahnya untuk menekan konflik? PSIS di Wilayah Barat, Persijap di Timur. Kalau Persis Solo masuk Divisi Utama, juga ada wacana beda wilayah dengan PSIS mengingat sejarah pertemuan yang suram pada masa lalu. Wah yang pusing pengurus PSSI. Bayangkan, Semarang dhewe, Jepara dhewe, dan Solo dhewe. Dadine telu wilayah. Mana mungkin ha...ha...ha. Saya kok tak setuju, ya! Mengapa? Saya pikir, mari kita mengampanyekan diri sebagai suporter atau penonton yang sangat santun, dewasa, dan cinta damai. Tak perlu membatasi apa-apa. Justru, kalau tiga kota di satu provinsi bisa bertemu, alangkah indahnya. Sepak bola menjadi media silaturahmi antarwarga. Penduduk Semarang dan Solo bisa bertemu kan menarik sekali. Kapan Anda yang orang Semarang dan saya, orang Solo, pernah bertemu sebelumnya? Tak pernah, kan? Bisa bertemu karena sama-sama cinta sepak bola itu kan luar biasa. Orang Jepara bertemu orang Solo, betapa indahnya. Saya tak sepaham jika harus dipisahkan. Solusi untuk mengatasi kerusuhan bukan memisahkan wilayah. Anda bisa bayangkan, orang Solo di satu Stadion Manahan, dua puluh ribu jumlahnya, betapa indahnya. Saling bertegur sapa, 'halo, halo, halo'. Eh, sesama orang Solo bisa bertemu, di stadion melepas rindu. Walaupun hanya kenal kebo, ngerti wajahe tok. Sepak bolalah yang menjadi medianya, menjadi ajang silaturahmi warga kota. Bagaimana relasi ideal antara suporter, panitia pelaksana pertandingan, dan aparat keamanan? Harus selalu menjalin komunikasi, tak hanya pas pertandingan saja. Setiap hari harus dilakukan lewat berbagai cara. Duduk bertemu di satu meja, membahas masalahnya bersama-sama. Lewat media juga bisa, Suara Merdeka misalnya, atau televisi. Bagaimana hubungan suporter dengan tim yang didukungnya? Bolehkah mereka memengaruhi manajemen untuk hal-hal krusial seperti pergantian pelatih atau rekrutmen pemain? Saya ingin suporter dan tim dipisahkan, masing-masing punya kemandirian. Kalau sekarang menyatu (peraturan Badan Liga Indonesia-Red) tak apa-apa, yang penting suporter tak di bawah tim. Kalau tim atau manajemen keliru, kami punya hak mengkritik. Kalau benar, kami tentu akan mendukung. Bagaimana suporter yang dibiayai sepenuhnya oleh tim? Saat ini ada fenomena suporter yang disponsori timnya, itu tak etis. Suporter itu kan dari kata support, mendukung, artinya juga memberi, ini kok malah meminta. Sebuah tim mengurus dirinya saja repot, kok juga repot mengurusi suporternya. Biarkan saja suporter berjalan sendiri. Kalau bersinergi, bekerja sama, ya harus. Kalau suporter berkonflik dengan manajemen atau tim? Suporter itu massa. Tak bisa dibayangkan kalau massa marah. Kalau suporter itu benci tim, ya repot. Tapi, kadang-kadang, konflik memang harus dipelihara untuk kebutuhan berita. Bad news is good news. Kadang-kadang begitu, kadang ya nggak. Good news is good news. Bisa mencontohkan? Pernah Pelita Solo dulu tandang ke Surabaya. Saat merayakan gol, pemain langsung ke manajemen, suporternya diabaikan. Wah, diunek-unekke. Pertandingan berikutnya Pasoepati mogok, jadi berita di mana-mana. Kemudian berdamai, salaman, juga jadi berita. Kalau tiap hari masuk media, apa itu bukan promosi gratis namanya ha...ha..ha. Adakah indikasi suporter Indonesia menjurus hooliganisme? Mungkin saja, meski hooligan itu di Inggris sifatnya profesional. Grafik kekerasan suporter memang menanjak naik. Tahun ini sepertinya tahun warning bagi sepak bola dan suporter Indonesia. Kejayaan suporter itu tahun 2000, terjadi euforia suporter di mana-mana. Setelah itu memudar. Mungkin karena terbawa kebobrokan PSSI, ya. Semakin hari bukan semakin santun, tapi semakin sakit. Saya menyebutnya tahun waspada. Bagaimana caranya supaya suporter jera? Dihukum tak boleh menonton seperti di Eropa? Sanksi seperti itu tak bisa diterapkan di Indonesia. Penonton di Indonesia tak terdata, tak punya kartu. Kadang KTP saja tak punya, kalau punya malah lebih dari satu. Kembalinya ke hati lagi, ke moral. Ini masalah bangsa, bukan cuma pengurus atau mereka yang terkait dengan sepak bola. Sanksi larangan mengikuti pertandingan tandang, seperti yang dijatuhkan kepada kelompok suporter PSIS, Panser Biru dan Snex? Saya tak setuju sanksi-sanksi seperti itu. Yang tepat itu kampanye hati, seperti keteladanan dari para pemimpin. Mau disanksi, dihukum, hukuman apa?Tak boleh ikut, ya piye, bayar sendiri kok. Sortir KTP juga tak bisa, lha KTP-nya punya dua. Juga jangan pakai pendekatan kekerasan, pakai pentung, selipkan pistol, bawa tameng. Sifatnya seperti membuka front. Suasananya menjadi gerah, tidak kondusif. Seolah mau perang dan yang menonton itu para perusuh. Mengapa kesepakatan bersama antarkelompok suporter tak berpengaruh sehingga kerusuhan tetap terjadi? Antara elit kelompok dan suporternya ga nyambung, ada kesenjangan. Harus disadari, suporter itu hubungannya bersifat sukarela. Hubungan antarhati, tak ada ikatan apa-apa. Kalau dia bawahan, pegawai, atau rakyat, bisa dipecat atau diusir ke luar wilayah. Kalau sebuah tim seperti PSIS, ikatannya profesional, hubungan kerja. Pemain berulah, manajemen bisa memecat. Urusannya selesai. Kalau suporter, lagi-lagi pendekatan hati. Bagaimana Anda melihat keberadaan lebih dari satu kelompok suporter untuk satu tim? Tak apa-apa, selama rukun. Itu demokratisasi. Yang penting bukan rivalitas, melainkan kompetisi yang dikedepankan. Berlomba membuat kreasi baru, kreativitas suporter yang baru. Menarik, malahan, melihat dua kelompok menampilkan atraksinya. Apa ide baru Anda berkaitan dengan suporter atau sepak bola? Saya kok bermimpi menggelar pertandingan sepak bola tanpa polisi. Saya ingin memunculkan Stadion Manahan yang tak dijaga polisi saat Persis bertanding. Jika itu bisa, alangkah luar biasa, mungkin satu-satunya di dunia. Juga bisa menjadi media pemasaran yang bagus untuk kota ini, bahkan bagi bangsa. Bisa dibayangkan, betapa hebatnya wong Solo, orang Indonesia. Kalau bisa, ditularkan ke kota-kota lain. Ya, sithik-sithiklah. Stadion tanpa polisi? Memang butuh waktu. Butuh waktu. Kalau di Solo saya optimistis. Kebetulan Stadion Manahan itu dirancang supaya penonton tak bisa masuk. Wacananya sendiri memang harus dibangun, dikampanyekan. Tapi itu juga bukan hal yang tak masuk akal. Mungkin terdengar seperti impian kosong, tapi saya menganggapnya bukan hal yang tak mungkin. (Abduh Imanulhaq-35) | |
| | | adike_wondo TM PELATIH KEPALA
Jumlah posting : 987 Join date : 12.09.08 Lokasi : PAPUA BARAT
| | | | Tamu Tamu
| Subyek: Re: Suporter: Unsur Penting Yang Diabaikan PSSI Sun Sep 21, 2008 2:28 am | |
| wadaw ... dowone rat !!!!!! aku tas tangi iki, males moco tulisan sing dowo ... |
| | | maldani PELATIH KEPALA
Jumlah posting : 1133 Join date : 12.07.08 Age : 37 Lokasi : AS_5_LANK
| Subyek: Re: Suporter: Unsur Penting Yang Diabaikan PSSI Sun Sep 21, 2008 3:28 am | |
| | |
| | | Sponsored content
| Subyek: Re: Suporter: Unsur Penting Yang Diabaikan PSSI | |
| |
| | | | Suporter: Unsur Penting Yang Diabaikan PSSI | |
|
Similar topics | |
|
| Permissions in this forum: | Anda tidak dapat menjawab topik
| |
| |
| |