Badan Liga Indonesia (BLI) tidak akan melakukan standarisasi harga pemain guna mengurangi beban operasional klub-klub peserta kompetisi.
Demikian ditegaskan Direktur Kompetisi BLI, Joko Driyono kepada wartawan usai menjadi pembicara pada lokakarya pembiayaan sepak bola Indonesia yang diselenggarakan Pengprov PSSI Jatim di Surabaya, Kamis (11/9) petang.
"Seharusnya klub-klub itu sendiri yang bisa menentukan seberapa besar harga seorang pemain, BLI tidak bisa ikut campur," ujarnya.
Joko Driyono mengakui kalau sekitar 85% pengeluaran klub habis untuk mengontrak pemain dan sisanya untuk keperluan lain, seperti biaya konsumsi, peralatan dan transportasi.
Melonjaknya nilai kontrak pemain saat ini, juga tidak lepas dari kebijakan klub-klub yang selama ini banyak mengandalkan sokongan dana dari APBD.
Dengan dukungan yang cukup besar dari APBD, klub-klub berani mengontrak pemain lokal maupun asing dengan harga tinggi.
Bahkan, beberapa pemain lokal dan asing yang tampil di Liga Super Indonesia saat ini, nilai kontraknya di atas Rp1 miliar per musim.
Ketika penggunaan dana APBD mulai dibatasi, klub-klub profesional mulai kelimpungan mendapatkan anggaran dan buntutnya gaji pemain juga tertunggak.
Sejumlah klub besar, seperti Sriwijaya FC, Persija Jakarta dan Persik Kediri harus kelimpungan mencari dana untuk membayar gaji pemain.
"Semestinya, kontrak pemain disesuaikan dengan kemampuan keuangan klub. Jangan pemasukan klub kecil, tapi kontrak pemain tetap tinggi," jelas Joko Driyono.
Ia juga mengakui kalau saat ini sebagian klub peserta Liga Super Indonesia dan divisi utama mengalami kesulitan keuangan hingga tidak mampu membayar gaji pemain.
"Kondisi itu sudah kita prediksi sejak awal 2007 hingga sekarang ini terbukti. Tapi kenyataannya, meski pemain gajinya telat dibayar, tapi mereka tetap bersedia main," katanya.
"Itu artinya pemain tidak sekedar memikirkan gaji, karena sepak bola sudah menjadi bagian dari hidup dan profesinya," tambah Joko Driyono.
Ketua Umum Persebaya, Saleh Ismail Mukadar dalam lokakarya itu mengusulkan kepada BLI atau PSSI untuk meninjau ulang harga pemain yang saat ini sudah kelewat sangat tinggi dan membebani keuangan klub.
"Saya pikir harus ada penurunan harga pemain agar klub-klub dan kompetisi tetap bisa jalan. Kalau tidak, pilihannya cuma dua, kita berhenti atau jalan terus tapi dengan kondisi kelimpungan," tegas Saleh.
Sebelumnya, Ketua Umum Pengprov PSSI Jatim, Haruna Soemitro juga mengusulkan kepada PSSI untuk melakukan devaluasi harga pemain, guna menekan beban keuangan klub.
Menurut Haruna, langkah devaluasi harga pemain menjadi salah satu upaya untuk menyelamatkan kompetisi sepak bola Indonesia. (KapanLagi)