Ketika Suporter Bicara Fair Play
Satu Kata Tolak Rusuh
Sepak bola Indonesia belum steril dari aksi anarki suporter. Namun, seiring berjalannya waktu, sikap suporter Indonesia semakin dewasa.
----------
Sepak bola Indonesia tidak hanya miskin prestasi, tapi juga semakin buram dengan maraknya aksi anarki. Menyedihkan memang. Apalagi, kekerasan itu tidak hanya melibatkan suporter, tapi juga pemain dan aparat pertandingan.
Sebagai salah satu komponen sepak bola Indonesia, kelompok suporter merasa resah dengan kenyataan tersebut. Dalam forum silaturahmi suporter di Malang Sabtu lalu (6/12), wakil suporter dari seluruh Indonesia sepakat untuk mengakhiri tindakan anarki. Memang, tidak mudah mewujudkan tekad itu. "Perlu ada dukungan dari semua pihak," kata Imron, wakil dari Yayasan Suporter Surabaya (YSS).
Dukungan tersebut berasal dari panitia penyelenggara pertandingan, klub, pihak keamanan, dan media massa. Terlepas dari itu, menurut Imron, pihak yang paling memegang peran kunci adalah PSSI dan turunannya seperti BLI (Badan Liga Sepak Bola Indonesia) dan BWSI (Badan Wasit Sepak Bola Indonesia).
PSSI seharusnya lebih banyak melakukan pertemuan dengan suporter. Menjalin komunikasi dan menjelaskan program-programnya. PSSI juga harus fair play. Kalau itu terjadi, suporter juga akan fair play. "Saya menilai, kerusuhan yang terjadi saat ini lebih banyak disebabkan wasit. PSSI seharusnya menugaskan wasit yang profesional," ujar Imron kepada Radar Malang (Jawa Pos Group).
Abdul Rokhim, pengurus Korda Sakeramania (pendukung fanatik Persekabpas Pasuruan), bersuara sama. Dia menuntut PSSI lebih pro aktif. Sebab, buruk tidaknya kompetisi bergantung kebijakan otoritas sepak bola tertinggi di Indonesia tersebut.
Meski begitu, Abdul meminta suporter Indonesia untuk intropeksi diri. Menurut dia, sebagian kelompok suporter di tanah air masih kurang paham dalam memberikan dukungan kepada tim pujaannya. "Suporter terlihat sangat fanatik. Jika terlalu fanatik, mereka tidak akan siap menerima kekalahan. Jika timnya kalah, pasti akan rusuh," katanya.
Nah, untuk meningkatkan kedewasaan suporter, dia berharap banyak pada peran media massa. Sebab, hampir sebagian suporter di Indonesia mengikuti perkembangan timnya melalui berita-berita di media massa. Sayang, sebagian media di Indonesia terkadang lebih suka untuk menjadi provokator daripada memberikan pendidikan kepada masyarakat pencinta bola.
Sementara itu, Sekretaris The Butterfly (suporter Persim Maros) Bakri Hamdan menegaskan, suporter sebenarnya sudah bosan dengan kerusuhan. Masalahnya, media terkadang memberitakan hal-hal yang bisa meningkatkan tensi emosi suporter. "PSSI memang pihak yang paling bertanggung jawab atas banyaknya kerusuhan. Namun, media massa juga terlibat menjadi pemicu," ujarnya.
Bakri berharap, ke depan media massa lebih banyak menyelenggarakan program-program yang bisa meningkatkan kualitas fair play di segala segi. Mulai tim, wasit, pelatih, pemain, ofisial, hingga suporter. "Saya kira, media akan mampu menjadi alat untuk membangkitkan kualitas sepak bola nasional," tuturnya.
Tembel, Aremania Korwil Stasiun, menegaskan hal yang sama. Menurut dia, pemberitaan di media massa juga memengaruhi perilaku suporter. Sering media mengingatkan suporter atas kerusuhan-kerusuhan di masa lampau sebelum pertandingan dihelat. Akibatnya, emosi suporter yang sebenarnya murni ingin mendukung timnya bisa tersulut ketika mengingat memori lama tersebut.
Di sisi lain, Rear Ari, wakil The Jakmania (suporter Persija Jakarta), menyatakan bahwa sepak bola nasional tak akan maju jika terus terjadi kerusuhan. Dia pun meminta masing-masing klub untuk memberikan pendidikan dan pendewasaan kepada para suporternya. Sebab, suporter tak bisa terlepas dari klub.
"Suporter Indonesia harus berlomba-lomba untuk berkreasi, bukan saling unjuk kekuatan untuk menang-menangan di dalam ataupun di luar stadion," kata Ari.(fir/yon/ca)