Menurut ayas.
Ibarat piala bergilir, Gelar Best Supporter akan terus diperebutkan dari tahun ke tahun.
Gelar itu diberikan kepada kelompok suporter atas jerih payah mereka dalam menunaikan tugasnya selama 1 tahun kebelakangnya, bukan sesudahnya.
Contoh : Aremania mendapat gelar Best Supporter di tahun 2006 karena kiprah mereka di tahun itu dipandang PSSI "cukup" layak menjadi Suporter Terbaik di tahun itu, meski ayas sendiri menyadari "mungkin" masih ada yang lebih baik daripada Aremania di masa itu. Sepanjang tahun 2006 track record Aremania cukup bersih, apalagi di ajang Copa Dji Sam Soe 2006, yang menjadi dasar penilaian gelar Best Supporter itu(selain faktor lain misalnya : salahe dewe Persipuramania, The Jakmania karo Smeck + Kampak ora iso nekakno anggotane luweh akeh timbang Aremania pas final CDSS 2006)
Ketika kerusuhan Brawijaya 2008, status Aremania menurut ayas adalah "mantan" Best Supporter. Mantan dalam artian gelar itu "hanya" disandang Aremania di masa itu, dan tahun berikutnya diperebutkan lagi. Tidak terpikir dalam benak ayas bahwa Aremania disandingkan sebagai "Juara Bertahan". Kalau ada pertanyaan Aremania sudah 2 kali meraih gelar Suporter Terbaik mengapa diibaratkan sebagai jawara dalam persuporteran Indonesia? Ayas tegaskan lagi, gelar itu dinilai dari kiprah, tingkah laku, pencapaian visi misi dan sebagainya oleh Aremania di waktu sebelumnya entah dalam hitungan detik, menit, jam, atau beberapa bulan sebelumnya. Ingat kita bukan Tuhan, kita tidak bisa menilai(baca meramal) dan menetapkan Suporter A ataupun Suporter B tetaplah suporter terbaik meski gelar itu diraih beberapa bulan, atau tahun sebelumnya.
Bodohnya, orang Indonesia tidak terkecuali beberapa pihak yang merasa untung di situasi rusuh ketika melibatkan suporter Indonesia, seolah-olah menggarisbawahi Suporter A, Suporter B atau lainnya mengalami degradasi perilaku, sikap, emosi, dan semacamnya yang menyebabkan Suporter A berbuat vandalisme, anarkhisme dan isme-isme lainnya yang bernilai negatif di mata publik. Hukuman dari PSSI seberat apapun nilainya tetap tidak mampu mengalahkan hukuman publik berupa stigma negatif yang harus ditanggung dengan waktu yang tak terukur. Ibarat cakap sejengkal dibawa sehasta, sesuatu yang kecil terpaksa dibesarkan, namun jangan heran apabila sesuatu yang besar "dipaksa" dikecilkan/dihilangkan.
Gelar, kesuksesan ibarat pedang bermata dua, disatu sisi penghargaan atas jerih payah seseorang/kelompok tapi di sisi lain sebagai alat untuk menjerumuskan seseorang/kelompok yang menerima kesuksesan itu. Tinggal menunggu seseorang atau kelompok itu lengah, niscaya kesilapan itu akan "membunuh" orang itu sendiri.
Yang harus diperhatikan :
1. Ketika musim kompetisi dimulai, ibaratnya semua kembali ke titik nol. Seolah tidak terjadi apa-apa dan segala sesuatu akan dimulai lagi nantinya. Inilah saat yang tepat bagi kita semua untuk memulai sesuatu yang baru dengan hati dan pikiran bersih. Yang kita sandang adalah jiwa kita sebagai Aremania(pendukung PS Arema), Arema(Arek Malang) atau jiwa sporter kita yang berujung pada sportifitas. Gelar hanyalah titel dimasa lalu, tidak lebih. Hari ini dan esok semua kembali bernilai nol.
2. Euforia tidak dilarang, tapi jangan lakukan secara berlebihan. Ingat ada yang menang tentu ada yang kalah. Yang kalah wajib bersikap legawa, yang menang wajib menghargai kepada yang lemah. Hindari menghina dan saling lempar caci maki.
3. Pepatah Jaman Biyen : Ojo Dumeh. Karena kita dalam kondisi juara tentu bukan semestinya kita bertindak sebagai yang terbaik, terhormat, dan lainnya. Arema dan Aremania adalah sekumpulan individu yang disatukan dengan membawa nama dan jiwa Arema, namun hidup dalam lingkup negeri ini. Ingat hidup tidak 100 persen akan berjalan stagnan. Kadang kita diatas, kadang kita dibawah. Ketika dalam posisi diatas jangan merasa puas atas hasil yang dicapai. Begitu pula dalam kondisi sebaliknya, jangan merasa depresi, tertekan dan bertindak di luar kontrol emosi kita.
4. Back to Basic. Tidak ada salahnya menengok ke belakang. Masa dimana paradigma Aremania dibuat. Kata sesepuh Aremania dulu "Friendship Without Frontier, Football Without Violence" adalah harga mati dan tidak ada kata menawar. Kenapa harus ada pembeda diantara kita, atau suporter lainnya? Friksi memang ada dan tidak dapat dihindari, tapi dapat diselesaikan.
Tidak ada yang menjamin sepakbola Indonesia akan bersih dari tindakan vandalisme, anarkhisme, dan lainnya. entah itu pemerintah, PSSI, BLI, Pihak Swasta, Aremania, Jakmania, Slemania, Pasoepati, Bonek, Persikmania, dan lainnya. Yang bisa menjamin adalah diri kita sendiri. Jaminan terhadap pengendalian emosi, peningkatan pola pikir dan tingkah laku terhadap pencegahan tindakan anarkisme, dan vandalisme. Ayas yakin, ini menjadi salah satu maksud dari aksireaksi di thread terdahulu. Memang tidak mudah, tapi ayas yakin ada jalan dan waktu untuk menuju kesana.
Mulai saiki, tolong ati-ati ker. Jaga diri dan emosi masing-masing. Kita hidup di Indonesia, dimana rasa pesimisme, maupun tindakan negatif lainnya yang condong lebih besar diwartakan daripada tindakan positif lainnya yang justru membangkitkan rasa optimisme di kalangan publik. Ini yang terjadi di sepakbola negeri ini(tak terkecuali Aremania). Kerusuhan/keributan di sepakbola Indonesia dibesar-besarkan namun sebaliknya menimpa terhadap jalannya pertandingan yang aman dan tertib, perilaku atraktif suporter dan lainnya. Pasti nawak sudah banyak yang tahu stigma 'sepakbola Indonesia tidak pernah lekat dari kerusuhan', tapi coba bandingkan antara pertandingan yang berjalan aman dan tertib dibandingkan dengan yang rusuh? pasti poin pertama nilainya lebih besar daripada poin kedua.
Sorry lek terlalu akeh. Just my opinion.