lion shadow Admin
Jumlah posting : 1111 Join date : 24.06.08 Lokasi : kota penghasil panda
| Subyek: Bola, Wasit, dan Budaya Hukum Tue Dec 02, 2008 11:59 am | |
| Bola, Wasit, dan Budaya Hukum
JIKA ada yang mengatakan sepak bola senyatanya adalah representasi naluri dasariah manusia dalam bentuk yang paling primitif -- namun dalam peradaban modern ini dibungkus serbaneka aturan dan "bungkus" yang sophisticated -- maka coba bayangkan sepak bola berlangsung tanpa kehadiran seorang wasit! Sebanyak 22 pemain dari dua tim yang mengejar bola yang hanya satu itu, akan saling sikut, tendang, terjang, baku hantam bahkan hingga darah tertumpah.
Tak ada wasit berarti tak ada otoritas kekuasaan berwibawa yang dipatuhi seluruh pemain. Paralel dengan apa yang terjadi di arena pertarungan para gladiator pada masa Romawi kuno. Andai itu terjadi, tontotan sepak bola akhirnya mungkin sekadar mengimperatifkan apa yang ditulis filsuf Inggris terkenal, Thomas Hobbes dalam karya masterpiece-nya Leviathan bahwa "manusia adalah serigala bagi manusia lainnya" (homo homini lupus).
Menurut Hobbes, man is not naturally good, but naturally a selfish hedonist. Oleh karena itu, dibutuhkan seperangkat aturan yang disepakati secara kolektif untuk mencegah diumbarnya nafsu selfish dan hedonistic manusia itu, demi tercipta keteraturan dan ketertiban dalam ruang sosial.
Sedemikian panjang sejarah peradaban manusia untuk mencapai tonggak modernitas dalam bentuk keteraturan dan ketertiban hidup, senyatanya juga terepresentasi dari perjalanan sejarah sepak bola itu sendiri. Sebagaimana penegakan kewibawan kekuasaan membutuhkan perangkat hukum seperti polisi, hakim, jaksa, bahkan hingga sipir penjara, sepak bola pun butuh sumber otoritas yang dipatuhi oleh para pemain yang bertanding di lapangan. Dus, setiap pertandingan membutuhkan wasit. Ia bertugas mengawasi permainan, mencegah pelanggaran, dan menghukum pelanggar; dari kartu kuning, merah, bahkan sampai menghentikan pertandingan.
Dalam buku The World Game, A History of Soccer yang ditulis pakar sejarah sepak bola dari Universitas La Trobe Bundoora Victoria Australia, Bill Murray, kemunculan sepak bola sejatinya sudah bisa dijejaki (traced) di awal peradaban manusia sejak awal Masehi. Masyarakat di era Mesir Kuno, tulis Murray, sudah mengenal permainan ini dengan bola yang dibuat dari buntalan kain linen. Salah satunya, konon masih tersimpan di museum sepak bola di Inggris. Peradaban Yunani purba juga telah memainkan permainan yang menggunakan bola, sebagaimana terpapar pada relief-relief di dinding museum. Orang Yunani purba menyebut permainan itu sebagai episcuro.
Pada relief itu terlukis anak muda memegang bola bulat dan memainkannya dengan paha. Sekira abad kedua, episcuro hijrah ke Roma dan peradaban Romawi menyebutnya harpastum. Dikisahkan, Kaisar Romawi Julius Caesar juga menggandrungi main utak-atik dengan bola itu. Namun, Horatius dan Virgilius meremehkannya. Bahkan, Ovidius menyebut permainan itu brutal, kasar mendekati biadab, dus tidak akan cocok dimainkan perempuan. Meski menjadi "wacana kontroversial" di kalangan elite Romawi kuno, toh spirit kolonialisme Romawi ke berbagai belahan Eropa, membawa serta "bibit permainan sepak bola" itu ke luar daratan Eropa, yakni Britania Raya.
Murray menulis bahwa sepak bola itu bukan semata milik peradaban Eropa. Kata Murray, peradaban Azteca di Benua Amerika Latin sana, juga sudah mencicipinya. Di kawasan peradaban tua Asia, Tiongkok, sejak 206 SM pada masa Dinasti Han sudah dikenal adanya olah raga olah bola ini. Dokumen militer setebal 25 bab menyimpan menjadi manuskrip sejarah yang menyimpan catatan tersebut.
Menurut manuskrip itu, permainan bola itu disebut sebagai Tsu Chu. Tsu berarti "menerjang bola dengan kaki'', sementara Chu berarti "bola dari kulit dan ada isinya". Di Jepang, sejak abad ke-8, konon juga sudah ada permainan ini. Mereka menyebutnya sebagai Kemari. Bola yang dimainkan terbuat dari kulit kijang berisi udara.
Sebagaimana lazimnya masyarakat Jepang yang amat memegang teguh adat, Kemari adalah juga simbol keyakinan pada adat dan kepercayaan. Bentuk Kemari yang bulat diibaratkan sebagai matahari. Untuk itu, Kemari harus dimainkan dengan kaki dan dijaga agar jangan sampai jatuh ke tanah. Kalau sampai "matahari" itu jatuh, maka muncul kegelapan; dan artinya bencana!
PIALA Eropa (EURO) 1996 di Inggris terkenal dengan jargon Football Comes Home; kembalinya sepak bola ke tanah kelahiran (motherland). Bukan semata lipstick pemulas bibir, jargon itu diapungkan. Membolak-balik dokumentasi soal sepak bola plus browsing situs-situs sejarah sepak bola di jagat internet, lumrah warga Inggris menepuk dada mengklaim diri sebagai nenek moyang sepak bola modern.
Sejak awal abad ke-19, di Inggris sepak bola terus mengalami perkembangan hingga akhirnya mewujud dalam bentuk permainan yang civilized dan modern seperti sat ini. Pada 1800, permainan sepak bola mulai berkembang di sekolah-sekolah umum besar saat itu. Boro-boro dipimpin wasit, bagaimana cara bermain pun masih acak-acakan alias bagaimana interprestasi sendiri; sakarepe dewek atau kuma aing.
Pada 1844 mulai diperkenalkan Aturan Cambridge yang disepakati oleh 14 perwakilan berbagai sekolah umum yang memainkan permainan sepak bola saat itu (pada 1850-an sempat direvisi hingga dua kali). Tahun 1855, Cricketers dan rekan-rekannya dari Sekolah Collingswood membentuk klub sepak bola pertama (Sheffield FC); dan pada 1860 sudah ada 15 klub di Sheffield. Pada era 1860-an, para insinyur asal Inggris yang mengerjakan projek rel kereta api mulai mengenalkan sepak bola di daratan Argentina, Brasil, Uruguay, dan terus menyebar di seantero Amerika Selatan.
Pada 26 Oktober 1863 di Freemason's Tavern, Great Queen Street, Lincoln's Inn-Fields, London, Football Association (FA) atau Badan Sepak Bola Inggris dibentuk. Pada 10 November tahun yang sama, pengurus FA bertemu untuk membahas berbagai aturan permainan sepak bola yang harus disepakati para anggotanya. Usai itu, berbagai aturan dan perlengakapan permainan terus berkembang, seiring terus tersebarnya permainan ini di berbagai benua yang juga melekat dalam politik kolonialisasi Inggris.
Pada 1894, misalnya, ada aturan pita sepanjang 8 kaki harus dipasang di batas gawang. Selanjutnya tahun 1869 mulai diperkenalkan tendangan gawang, 1890 jaring gawang mulai dipakai, kemudian berturut-turut 1891 tendangan penalti diperkenalkan dan akhirnya kehadiran wasit yang dibantu dua hakim garis dilakukan pada 1892.
Pada 1898, akhirnya aturan resmi sepak bola modern disepakati dengan jumlah aturan mencapai 17 (lapangan permainan, bola, jumlah pemain, perlengkapan pemain, wasit, hakim garis, lama pertandingan, mulai pertandingan, bola masuk dan keluar lapangan, metode skor, offside, pelanggaran dan kesalahan, tendangan bebas, tendangan penalti, lemparan ke dalam, tendangan gawang, dan tendangan sudut).
Hingga saat ini, peraturan pertandingan terus mengalami penyempurnaan, seiring dengan perkembangan yang terus terjadi baik dari aspek teknis di lapangan maupun situasi lain secara eskternal di luar lapangan hijau.
MAKA, jika kini nama-nama seperti Pierluigi Collina (Italia), Urs Meier (Swiss), Anders Frisk (Swedia), atau Kim Milton Nielsen (Denmark), dan delapan nama lainnya menjadi sosok yang amat disegani, berwibawa, dan dipatuhi para pemain di arena Piala Eropa 2004 Portugal, senyatanya adalah buah dari rentang panjang sejarah penegakan aturan dan "hukum bersepak bola" itu sendiri sejak awal kelahiran olah raga yang satu ini.
Tentu, selaku manusia, para wasit itu tak luput dari kealpaan dalam menginterpretasi aturan dan memimpin jalannya pertandingan. Bukan tidak pernah ada kontroversi dan kritik tajam berbagai kalangan terhadap kinerja wasit di lapangan. Juga, misalnya, kepada Collina yang saat ini dianggap salah seorang wasit terbaik dunia.
Meski keluhan banyak dialamatkan kepada sang pengadil di lapangan, satu hal yang amat menarik, para pemain di lapangan hijau tidak pernah melakukan protes berlebihan. Mereka banyak yang kesal dengan keputusan wasit, tetapi tidak pernah melakukan tindakan tidak terpuji. Apa pun keputusan sang pengadil, diterima dengan lapang dada. Sepahit apa pun.
Kematangan berdemokrasi rupanya turut berimbas pada perilaku pemain di lapangan. Perbedaan pandangan memang bisa sangat mengesalkan, tetapi tidak harus selalu berujung pada bentrokan fisik. Di sisi lain, budaya hukum yang juga sudah inheren dan meresap dalam kehidupan keseharian mereka, berimbas pada kepercayaan yang kuat terhadap performance seorang wasit.
Budaya hukum yang mewujud dalam kepercayaan bahwa penegak hukum dan aturan akan selalu berorientasi pada kebenaran, terefleksikan dalam sikap patuh dan taat terhadap apa pun keputusan wasit. Mereka meyakini bahwa apa pun yang diputuskan tidak akan bertujuan semata menguntungkan segelintir kepentingan.
Dengan analogi demikian, kita akhirnya memang harus memafhumi bahwa perilaku brutal pemain, pelatih, ofisial tim, bahkan hingga penonton sendiri terhadap wasit yang memimpin pertandingan sepak bola di negeri ini, sejatinya adalah juga potret dari centang-perenangnya budaya dan kepercayaan terhadap hukum dalam keseharian kita.
Peraturan apa pun kita sudah punya, bahkan seabrek. Namun, meminjam istilah pengamat politik Eep Saefulloh Fatah, segenap aturan itu sekadar dipersepsi sebatas instrumen. Ia bisa diinterpretasi macam-macam sesuai kepentingan siapa yang menafsirkan. Seseorang yang memegang otoritas -- kekuasaan atau uang -- akhirnyalah menjadi penafsir paling menentukan. Pada situasi ketidakpercayaan terhadap hukum makin mengental, maka anarkisme yang menjadi keniscayaan.
Di bagian lain belahan bumi, wasit amat disegani dengan modal kartu kuning dan merahnya. Dalam konteks luas artinya juga sanksi hukum bagi siapa pun yang melanggar. Di negeri ini, kartu kuning dan merah atau sanksi-sanksi hukum itu tidak lagi berdaya. Sebab, sudah hadir "kartu" lain yang lebih sakti......fulus! | |
|