Sukses Berbisnis Arema
Sebelum jatuh sanksi Komisi Disiplin PSSI bahwa Aremania dilarang memakai kostum dalam pertandingan resmi selama dua tahun, laga Arema selalu diwarnai lautan biru. Ya, hamparan biru itu berasal dari merchandise Arema seperti kaus dan slayer. Siapa pioner lautan biru itu?
Liga Kansas 1998. Arema, tim kebanggaan kera-kera Ngalam, tengah bertanding menjamu tamunya di Stadion Gajayana. Beribu-ribu suporter Aremania datang ke Gajayana untuk memberikan dukungan terhadap Arema.
Salah satu di antara Aremania itu, ada sosok bernama Ivan Syahrul. Bukan sekali itu saja Ivan datang ke Gajayana guna men-support tim kesayangannya bertanding. Tiap Arema bermain di kandang, Ivan hampir tak pernah absen mendukung.
Namun, partai itu punya nilai plus tersendiri bagi Ivan. Sebab, inspirasinya untuk menciptakan kostum buat suporter memuncak. Dia sudah tak tahan merealisasikan impiannya melihat Aremania di tribun selatan Gajayana tak henti-henti memberikan semangat buat tim kesayangannya tapi tanpa kostum yang sama. Di benak Ivan, kekompakan dalam bernyanyi maupun meneriakkan yel-yel Arema terasa kurang karena tidak dilengkapi kostum yang sama.
Berpijak dari situ, Ivan bertekad bahwa kostum untuk Aremania yang menandai jiwa kebersamaan harus tercipta sebelum pertandingan Arema selanjutnya. Dia juga merancang aksesori selain kaus. Bagi Ivan, harus ada merchandise lain yang menjadi lambang kebanggaan tim berjuluk Singo Edan tersebut. "Saya pun mencoba membuat kaus dengan desain replika kostum pemain. Saat itu saya buat 30 kaus dengan harga jual Rp 25 ribu," ujar jebolan SMA Islam Malang tersebut.
Di luar dugaan, dari informasi mulut ke mulut, produk pertamanya tersebut mendapat sambutan hangat dari Aremania. Dalam waktu hitungan hari, produknya dikenal meluas di kalangan Aremania. Barang dagangan sejumlah 30 t-shirt ludes. Tak ayal, Ivan pun kembali membuat t-shirt dengan desain tetap menyertakan Arema, namun dibuat lebih bervariasi dan jumlah lebih banyak.
"Saya masih ingat betul, mungkin ini peristiwa dalam hidup saya yang tidak akan pernah saya lupakan. Barang masih saya buat (t-shirt), eh pembelinya sudah antre. Begitu datang, 40 t-shirt hanya sepuluh menit habis terjual," kata ayah satu anak ini. Masih lekat di benaknya, ketika itu Arema akan menjamu Persebaya.
Tahun 1998 itu sekaligus menjadi tonggak sejarah bisnis "Arema" oleh Ivan. Produk t-shirtdengan replika kostum pemain Arema menjadi karya pertama di Malang. Alasannya, saat itu belum ada satu pun orang yang membisniskan t-shirt seperti buatannya. Melihat perkembangan bisnis t-shirt itu amat pesat, Ivan pun merasa perlu menciptakan merek. Akhirnya nama Ultras dengan lambing cakar lahir sebagai bendera bisnis. "Mengapa saya pilih Ultras, itu ada ceritanya lho," kenang pria yang sempat mengenyam pendidikan S-1 jurusan Ilmu Komunikasi UMM namun belum sempat lulus ini.
Setiap kali menyaksikan pertandingan sepak bola di televisi, tulisan Ultras selalu terlihat di belakang gawang. Setelah ditelisik lebih mendalam, Ultras mengandung makna suporter fanatik. Kata itu lantas dicomotnya sebagai merek produk. "Sayang, bisnis saya yang langsung melejit ini cuma bertahan tiga bulan (November-Desember) . Padahal, saya sudah bisa menyewa bedak di Gadang," ungkapnya.
Singkat dia menyebut, tumbangnya usahanya tersebut karena kesalahan manajemen. Secara terperinci, Ivan enggan menguraikannya. "Pokoknya itu peristiwa kelabu dalam hidup saya. Sudah usaha tutup, saya pun harus menanggung utang ke penjahit yang jumlahnya cukup besar saat itu. Apa yang saya miliki pun saya jual untuk menutup utang-utang," ujar pria 31 tahun ini.
Namun, asa untuk menjadi pebisnis tak pernah padam. Meski beban yang ditanggung kala itu cukup berat, Ivan kembali melangkah. Bermodal Rp 300 ribu yang diakui merupakan uang pinjaman dari teman-temannya, dia mencoba bangkit. Tepat pertengahan 1999, Ivan mengawali kebangkitan usahanya. Merek Ultras tetap dia usung.
Tak tanggung-tanggung, dengan menambah utang Rp 1,5 juta, Ivan memberanikan diri menyewa ruko di Jl Trunojoyo 33 A yang sampai sekarang bertahan sebagai counter barang dagangannya. "Saya bondo nekat (modal nekat) saja. Bayangkan cuma memiliki 30 t-shirt,saya berani melakukan spekulasi lebih besar. Untuk memenuhi toko, saya pinjam barang-barang dagangan teman yang memiliki usaha sama meski bukan merchandise Arema. Yang penting, barangnya bisa memenuhi toko," ujar anak kedua dari tiga bersaudara ini.
Setiap pagi barang diambil dan malam dikembalikan kepada temannya. Begitu seterusnya, sampai akhirnya usahanya tersebut pelan-pelan kembali berkembang. Dua ruko meski masih berstatus menyewa kini dikelolanya. Hanya saja, barang-barang yang dipajang sudah tidak lagi meminjam, tetapi punya Ivan sendiri melalui pengembangan modal. Selain di Jl Trunojoyo, Ivan membuka counter di Jl B.S. Riyadi yang merupakan pindahan dari Jl Bendungan Sutami.
"Ya, Alhamdulillah omzet lumayan. Tapi maaf saya tidak bisa menyebutkan. Nanti dikiranya sombong. Yang jelas mencukupi untuk biaya operasional plus gaji delapan karyawan," ungkap Ivan.
Dari usaha merchandise itu pula, Ivan membawa keluarganya hidup berkecukupan. Dia juga membiayai kuliah adiknya. Rumah di kawasan Sawojajar yang kini ditempat bersama keluarganya juga hasil jerih payahnya dari usaha menjual merchandise Arema.
Usahanya yang sudah berkembang tersebut tak sampai melupakan Ivan akan sejarah. Semua karena Arema. Sebab, dari beragam produk yang dijualnya, sebagian merupakan aksesori Arema. "Saat zamannya Abah Gandi (almarhum Gandi Yogatama) menjadi manajer Arema, saya pernah menawarkan kepada beliau. Intinya, apa yang bisa saya perbuat untuk Arema. Bagaimanapun bisnis saya bisa besar juga karena Arema," ucapnya.
Lewat Gandi, Arema membukakan pintu untuk Ivan. Sebagian penghasilan yang diterima lantas disisihkan untuk mbandani Arema. Ivan membuatkan kostum untuk di dalam dan di luar lapangan bagi pemain plus ofisial. Itu meliputi kemeja, seragam pertandingan home-awaysebanyak empat macam, kostum pemanasan, dan kostum keseharian. (happy dy/lazuardi firdaus/yn)