Sanksi yang diberikan Komisi Disiplin (Komdis) PSSI bagi pelaku kerusuhan justru bias.Akibatnya,potensi mengulang tindakan anarkistis tetap ada.
Bentrok Arema Malang kontra PKT Bontang yang berkesudahan 1-2 di Stadion Kanjuruhan, Sabtu (13/9),bisa menjadi rujukan. Aremania–suporter Arema–yang atributnya dicekal masuk stadion selama dua tahun mengulang tindakan anarkistis. Namun, komdis tidak memberikan sanksi tambahan.
Mereka berargumen, oknum yang melakukan anarkistis adalah penonton, bukan Aremania. BLI beralasan, suporter adalah mereka yang datang ke stadion dan menonton pertandingan dengan atribut klub atau kelompoknya. Di luar konteks tersebut, mereka adalah penonton biasa. Definisi ini tentu saja ditentang beberapa pihak.
Pelatih Persija Jakarta Danurwindo menegaskan, suporter atau penonton tidak berbeda nyata. Akibatnya, keputusan komdis memilah penafsiran tersebut bisa memicu motif kekerasan baru di lapangan. Anarkistis yang tidak perlu menyertakan atribut klub atau kelompok tertentu.
”Seharusnya bukan hanya atribut, tapi pelaku kerusuhan yang dicekal. Artinya, klub menggelar pertandingan tanpa penonton sesuai bobot kesalahan. Tujuannya agar tidak berkelanjutan,ya minimal berkurang. Suporter atau penonton sama. Semua penonton, suporter,meski tidak beratribut. Tapi, suporter memang lebih fanatik. Mereka mengelompok dalam satu kurva yang sama,”ujarnya kemarin.
Danur mengilustrasikan soft therapy yang dilakukan FIGC saat seorang suporter AC Milan tewas di depan Stadion Luigi Ferraris, markas Sampdoria, pada 1996. FIGC kemudian menghentikan Kompetisi Seri A sekitar tiga pekan.
”Saya ingat betul insiden itu.Padahal,itu bukan kerusuhan atau ulah suporter. Korban meninggal karena korban kriminal, tapi pemerintah bersikap tegas. Idealnya, komdis berpikir ke sana. Bukan hanya atribut yang dicekal agar semua merasakan dampaknya,”lanjutnya.
Bukan hanya komdis, Badan Liga Indonesia (BLI) juga harus proaktif. Sosialisasi aturan baku pertandingan harus disampaikan kepada suporter. ”BLI harus menyampaikan materi apa itu offside atau tackling dari belakang melalui media masa. Siaran televisi bisa digunakan sehingga bukan hanya murni pertandingan atau highlight.Sekarang imbas kerusuhan sudah ada. Contohnya izin Persija, Persitara, atau Persib sempat dicekal aparat kepolisian. Ini sinyal buruk bagi perkembangan sepak bola,”tuturnya.
Pelatih Sriwijaya FC (SFC) Rahmad ‘RD’ Darmawan menyatakan perlu dicari formulasi ideal untuk meredam sifat kekerasan suporter. Dia mengakui denda uang, pertandingan tanpa penonton, pertandingan usiran, atau pencekalan atribut tetap memiliki sisi positif.
”Sanksi secara fisik harus dijalankan penuh.Tapi, semua kembali kepada pribadi suporter itu sendiri. Saya melihat komdis sedang mengarah ke sana. Saat ini yang dirasakan adalah berkurangnya sikap rasisme,”papar RD. (Sindo)