Jumlah pemain asing dalam suatu klub kini menjadi polemik. Bagaimana Anda menyikapi hal tersebut?
Bagaimana Anda melihat abad ini? Batasan geografis mulai kabur, identitas pun bercampur baur. Karenanya, perdebatan isu konseptual seperti globalisasi, hingga teknis seputar imigrasi, dan tenaga kerja tengah menyeruak di abad ini. Namun, kali ini kita tidak sedang membicarakan masalah kebijakan politik. Kita tengah membicarakan sepakbola.
Apa kaitan antara isu tersebut dengan bola? Pertengahan bulan September tahun lalu, manajer Reading Steve Coppel merasa “gerah” dengan kuantitas pemain asing yang merumput di Liga Primer Inggris. Hal senada juga dilontarkan oleh pemain Liverpool Steven Gerrard yang merasakan gelombang migrasi tenaga kerja “sepakbola” asing terlalu berlebihan di tubuh liga negaranya. Selain itu, Iker Casillas (Real Madrid), Andres Iniesta (Barcelona), dan Raul Albiol (Valencia) juga memiliki pandangan yang sama. Di pihak pelatih, Sir Alex Ferguson terkesan "agak" mendukung pembatasan pemain asing setelah menurunkan enam pemain Inggris dalam laga Liga Champions.
Tidak lama, Presiden FIFA Sepp Blatter (foto) langsung berancang-ancang membuat proposal ide pembatasan pemain asing. Akhir Mei 2008, Blatter mengungkapkan rancangan 6+5 di hadapan peserta kongres FIFA yang berlangsung di Sydney, Australia. Rencananya, ide yang bermakna enam pemain lokal plus lima pemain asing itu akan efektif pada musim 2012/13, atau lima tahun lagi dari sekarang. Gayung pun bersambut. 155 delegasi setuju dan lima tidak, mayoritas memberikan lampu hijau.
Mengapa FIFA bersikukuh dengan konsep 6+5? Ada beberapa alasan mendasar yang menjadikan ide tersebut harus disimpulkan dan diratifikasi segera.
Pertama, keseimbangan klub-klub. Jelas, jika sebuah klub berlimpangan harta, mereka bisa membeli pemain asing handal dengan biaya berapa pun. Pembatasan ini bertujuan mengurangi dominasi klub-klub kaya. Dominasi Big Four di Inggris sebagai contoh.
"Kami harus memastikan bahwa keseimbangan lebih baik dalam sebuah kompetisi. Sehingga, dalam setiap kompetisi sepakbola yang terdiri dari 18 sampai 20 tim, tidak hanya tiga atau empat klub yang berpeluang juara. Sedangkan klub lainnya hanya sekadar berjuang lepas dari degradasi," ungkap Blatter.
Saat itu, Blatter mencontohkan kegelisahan Kevin Keegan yang hanya berjuang demi posisi lima atau enam klasemen Inggris lantaran tidak mampu membeli pemain asing berkualitas. Empat kusi posisi teratas sudah dipesan.
Imbas lainnya adalah menurunnya kualitas Liga Champions. Lihat saja klub dari liga mana yang mampu menembus perempat final di LC 2007/08!
Kedua, menjaga talenta muda dalam negeri. Hal tersebut sebenarnya cukup dirasakan oleh para telanta muda Inggris yang kehilangan tempat di klub Liga Primer.
“Ketika Anda memiliki 11 pemain asing dalam klub, hal tersebut tidak berdampak positif bagi pengembangan sepakbola (dalam negeri), bagi pemain-pemain muda,” papar Blatter.
Dalam sebuah survey yang diadakan oleh BBC pada Oktober tahun lalu, dari 1055 responden, 55 persen mendukung pernyataan yang menegaskan, pemain asing di Liga Inggris sangat berdampak negatif terhadap kualitas pemain timnas Inggris. 39 persen menolak sementara sisanya memilih abstain.
Tidak aneh, selama ini prestasi Inggris lebih tercatat dalam kancah liganya, dan bukan timnas. Puncaknya, Inggris tersungkur di hadapan Kroasia. Fabio Capello juga mengeluh karena hanya ada 35 persen pemain di Premier League yang pantas dipanggil ke timnas. Sedangkan di negara lain, mereka berlimpah pemain.
Ketiga, proposal 6+5 memiliki fleksibilitas yang tinggi. Dalam rancangan tersebut, FIFA mengajukan prasyarat. Sebelum 6+5, klub akan dibiasakan terlebih dahulu dengan pola 4+7. Empat pemain lokal dan tujuh pemain luar. Artinya, klub-klub dipersilahkan untuk mempersiapkan diri sebelum keputusan akhir 6+5 diratifikasi dan berlaku.
Selain itu, konsep 6+5 bukan berarti sepanjang 90 menit laga hanya lima pemain asing yang bermain. Konsep tersebut berlaku pada komposisi starting eleven. Dan, diperbolehkan maksimal tiga pemain cadangan masuk menggantikan enam pemain lokal. Artinya, sebuah tim bisa menurunkan total delapan pemain asing.
Bagaimana reaksi atas proposal Blatter?
UEFA adalah satu-satunya organisasi yang memberikan kartu merah atas keputusan tersebut. Di bawah hukum Eropa, tidak ada pembatasan tenaga kerja, termasuk olahraga sepakbola. Mereka mendasarkan posisi UE yang menolak FIFA pada ideologi globalisasi, kesetaraan, dan non-diskriminasi.
Menurut UEFA, kebijakan tersebut tidak beralasan dan sulit diterapkan di Eropa lantaran bertentangan dengan undang-undang ketenagakerjaan Eropa yang memberikan ruang luas bagi pekerja asing untuk bekerja di benua tersebut. Dan, pesepakbola masuk dalam kategori tenaga kerja.
Arsene Wenger tak mau lewat ambil bagian. Ia menegaskan, tidak penting Anda berasal dari mana. Yang penting adalah kemampuan Anda. Sepakbola didasarkan pada merit system dan bukan kewarganegaraan.
Namun, bak “Anjing menggonggong kafilah berlalu”, Blatter menegaskan, kami akan tetap berjalan. Keputusan tidak bisa dianulir, titik putih sudah ditentukan.
Bagaimana dengan Indonesia? PSSI pernah disibukkan dengan ide pembatasan pemain, bahkan lebih ekstrem. Maksimal hanya tiga pemain. Opini yang beredar di kalangan insan sepakbola Indonesia tidak jauh beda. Menyetujui karena demi kepentingan timnas dan menolak karena sepakbola adalah olahraga universal, dan pemain lokal harus bersaing untuk mendapatkan tempat.(Goal)