Karena dihadapkan dengan banyak masalah, maka perhalatan Superliga 2008/09 diusulkan untuk ditunda sementara waktu sembari melakukan pembenahan.
Boleh saja Badan Liga Indonesia (BLI) mengklaim perhelatan Superliga 2008/09, yang tinggal menyisahkan beberapa pertandingan di putaran pertama, sukses.
Tapi faktanya jauh dari itu. Terbukti hingga saat ini mayoritas klub kontestan kasta tertinggi sepakbola nasional masih "teriak" akibat krisis finansial berkepanjangan, menyusul belum jelasnya pencairan dana APBD yang selama ini menopang kehidupan mereka.
Parahanya karena hal itu tidak hanya dialami tim-tim kecil, namun justru dirasakan oleh tim sekelas Persija Jakarta, Persik Kediri, Persib Bandung, PSM Makassar, Sriwijaya Football Club (SFC), yang sebelumnya merupakan tim elit Liga Indonesia.
Lebih menyedihkan karena BLI selaku pelaksana regulasi kompetisi non-amatir di tanah air seolah "tutup mata" akan krisis finansial yang dialami sejumlah klub elit tersebut. Itu dapat dilihat dengan "kengototan" mereka untuk tetap menggulikan liga yang digadang-gadang sebagai terbaik sepanjang sejarah sepakbola Indonesia.
Sekilas, kita memang sangat setuju dengan upaya BLI tersebut. Namun mestinya kita harus realistis dengan kondisi klub di tanah air. Apakah sudah layak untuk ikut liga profesioanal atau belum. Baik ditinjau dari aspek keuangan, infrastruktur maupun sumber daya.
Jika tiga indikasi ini yang dilihat, maka sudah pasti kita semua setuju sekiranya BLI menunda pelaksanaan Superliga. Kalau pun tidak, maka proses pelaksananya yang harus dilakukan secara perlahan dengan tidak langsung memaksakan kehendak.
Apa yang dialami PSMS Medan, Persitara Jakarta Utara, dan Persita Tangerang, dengan status nomaden alias tim yang tidak memiliki kandang tetap, adalah bukti jika BLI terlalu memaksakan diri untuk menerapkan aturan ketat Superliga.
Lebih menggelitik karena masih ada tim yang kondisi stadionya tidak jauh berbeda dengan tiga tim nomaden itu, namun tetap saja bisa menggelar laga kandang di hadapan publiknya sendiri. Sebut saja Persipura Jayapura dengan Stadion Mandalanya, serta Persiwa yang berkandang di Stadion Pendidikan.
Stadion milik dua tim asal Papua itu sesungguhnya tidak layak untuk menggelar pertandingan Superliga. Tapi entah kenapa, hingga saat ini kedua tim itu tidak terusik dari kandangnya. Dan tidak ikut menjadi tim nomaden.
Satu hal lagi yang menunjukkan Superliga belum siap digelar adalah sering berubahnya jadwal pertandingan. Saking seringnya berubah sehingga BLI sendiri "limbung" dalam menetapkan jadwal pertandingan sebaik mungkin.
Itu dilihat dari adanya tim yang harus bertanding terus menerus, dalam waktu berdekatan, sementara tim lain ada yang justru memiliki waktu istirahat yang cukup lama. Selain itu konsistensi dua kali home dan dua kali away sepertinya tidak terlaksana dengan baik.
Menurut Anda, pantaskan Superliga dihentikan sementara guna melakukan pembenahan, agar pelaksanaannya bisa lebih baik? Atau mungkin Anda punya pendapat lain? (Goal)